Kabar terkait pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sembako, jasa pendidikan hingga jasa kesehatan dalam Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menuai polemik.
Terkait hal tersebut, Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR Republik Indonesia di Komplek Parlemen Senayan, Tanah Abang, Jakarta Pusat pada Kamis (2/9/2021).
Dalam kesempatan tersebut, Ketua Umum APPSI Sudaryono menyampaikan sejumlah kekhawatiran sekaligus usulan para pedagang.
Sebab, rencana pungutan PPN pada sembako yang tercantum dalam draft Revisi Kelima UU Nomor 6 Tahun 1983 itu diyakini dapat memicu melonjaknya harga sembako di pasaran.
Tak hanya itu, kenaikan harga bahan pangan pun diungkapkannya tak bisa terelakkan apabila rantai pasok bermasalah.
“Saya hari ini diterima dengan baik oleh Ketua Komisi Xl saya sebagai Ketua Umum APPSI hadir dan meyampaikan pendapat kami terhadap rancangan UU perpajakan,” ujar Sudaryono usai pertemuan di Komplek Parlemen Senayan, Tanah Abang, Jakarta Pusat pada Kamis (2/9/2021).
Sudaryono pun menegaskan sikap APSSI terkait pembahasan rancangan UU tersebut, yakni meminta agar pembahasan ditunda lantaran dinilai tak tepat.
“Sikap kami jelas di tengah pandemi ini mengimbau, menyarankan dan bahkan mendesak kepada DPR untuk disampaikan ke pemerintah untuk menunda pembahasan RUU ini, karena memang kondisi lagi susah saat ini,” kata dia.
Menurut Sudaryono, kondisi pedagang pasar, kini tak cukup baik.
Mereka katanya terlunta akibat sejumlah pembatasan kegiatan yang diterapkan pemerintah selama pandemi covid-19.
“Kondisi kebatinan pedagang pasar yang kami bela kondisi kebatinannya lagi kurang baik. Jualan dibatasi, omzet menurun, pendapatan menurun,” ungkap Sudaryono.
“Di saat kondisi seperti ini terus pemerintah dan DPR membahas RUU perpajakan menurut saya waktu yang tidak tepat,” jelasnya.
Namun apabila pembahasan tak bisa ditunda, APPSI memiliki opsi lainnya, yakni meminta agar sembako hasil pertanian, peternakan, perkebunan rakyat serta jasa pendidikan dan kesehatan tidak dikenai pajak.
“Sayur-mayur tidak kena pajak. Jadi kalau dari hulu atau dari hasil kerja rakyat kena pajak, sangat memberatkan kami sangat tegas menyarankan menolak,” ungkap Sudaryono.
“Tapi misalkan produk-produk impor silakan dan tolong cari sumber-sumber pajak dari yang lain dan jangan memberatkan rakyat kecil,” jelasnya.